Rabu, 29 Januari 2014

Cinta yang Tersembunyi

karya : Basyariah
twitter : @riah_meeng

Ketika aku membuka mata, banyak lembaran-lembaran dedaunan yang dapat aku temui di sudut-sudut kamarku. Pintu kaca terbuka dan terpenuhi dengan debu-debu yang turut serta mewarnai pagi. Aku berdiri diantara sudut pintu yang mengarah ke kamar mandi, tidak… aku tidak langsung membasuh wajah kusam ini. Aku berjalan menuju balkon kamar ku. Ku pandangi pemandangan yang mampu menghanyutkan kegelisahan seketika. Aku tertarik diantara angin yang berhembus lirih dan menyentu baris-baris kening ini dan membawa ku berlari diantara mereka. Ku ikuti turutan hati berlalu. Ku turun dari lantai kamarku, dan aku berteriak bahagia. Walaupun aku tidak tau apa yang telah membuatku bahagia. Ku hampiri asal muasal dedaunan yang berserakan di kamar ku. Ku pandangi setiap tumbuhan yang ada di taman mini ini. Ku temui beberapa tangkai mawar merah yang berbisik senduh takut akan berpisah dengan dunia. Dan akupun melirih senduh diantara percikan-percikan air yang membasahi taman hati. Ku ambil gunting dan gelas putih panjang serta bening lalu aku isi air untuk pengabdian mawar merah ku sayang.
Ntah lah, bagaimana aku bisa menjelaskannya. Hasrat hati tertuju pada setangkai bunga mawar merah yang bermekar sedang. Ku petik lalu ku persembahkan kedalam gelas panjang nan rupawan hadiah dari teman lama ku sebagai tanda perpisahan. Teman lama ku, ya teman lama. Dia adalah Yuda. Dia adalah teman yang sangat aku rindu. Waktu yang memisahkan kami sejak 9 tahun sayang, karena suatu jalan pendidikan yang tak sama tempatnya.  Ya! 9 tahun aku telah mencintainya dalam kebisuan ku, menyesal? Pasti aku menyesal, karena sampai saat ini pun aku tak dapat menemukan cinta pertama ku dan mengungkapkan segala isi hati yang tak sanggup lagi ku pendam.
Sudahlah pikirku, tak berguna bila ku selalu memikirkannya, yang akupun tak tau persis bagaimana perasaannya kepadaku. Berharap menemukanya? Hentahlah munkin harapan itu telah berubah menjadi mimpi yang tak munkin aku dapatkan. Bagaimana tidak? Munkin saja rupanya telah berubah, sifatnya, atau munkin pehatiannya kepada ku pun telah berubah. Marah? Tidak ada alasan bagiku untuk marah karena dia tidak mencariku. Aku jelas mencintainya. Namun dia ? bagaimana isi hatinya? Aku tidak tau. Ya penantian 9 tahun itu bukanlah hal yang mudah aku pertahankan untuk tidak berusaha mencari tambatan hati yang lain. Munkin ini gila, namun inilah yang terjadi padaku. Berharap pada seseorang yang tak tau dimana, dan bagaimana hatinya.
Aku kembali kekamar tidurku lalu ku pajang mawar merah itu di atas meja belajarku. Umur ku 20 tahun sayang, aku belajar disalah satu unversitas swasta di kota ku. Aku sering sekali merasa bahagia namun aku juga sering merasakan sedih hingga aku menangis. Ntahlah, yang pasti pada hari itu sahabat ku mengajak ku kesuatu tempat. Tentu aku tidak menolak dan tak akan pernah bisa menolak ajakan dari seorang sahabat yang sangat aku sayangi.
Aku bersiap-siap, mandi, berpakaian ala style aku J kata mereka style tomboy yang sangat berbeda dengan Fika sahabat ku yang sangat cantik, anggun dan mempesona. Biarlah pikirku, toh selama style ku tidak merugikan orang lain tak berarti kata-kata itu bagi ku.
11:00 wib. Ini waktu aku janjian dengan Fika sahabat terbaik ku di tempat biasa kami menikmati secangkir capucino. Kulihati sepanjang jalan yang menuruti pemandangan mata ku. Ingin hasrat jiwaku menemukan serpihan masa lalu sembarih ku tunggu Fika datang menemui ku.
Tiba-tiba, handphone ku pun bergetar. Fika menelpon ku. Aku sedikit cemas takut hal yang buruk terjadi pada Fika.
Hallo Fik,,, 
Iya Fik, aku udah di tempat biasa ni
Apa? Surprise ?
Surprise apa?
Rahasia? Pelit huuuu
Hahahahahahahahaha
Oklah, aku tunggu ya ,,,,
Ok …………..
Sembarih ku menanti, ku pesan minuman kesukaan ku dari kecil, secangkir cappuccino hangat. Tak lama kemudian Fika pun datang dengan pakaian bewarna merah tua, parfum yang begitu terasa, anggun dan memikat yang bertandakan seorang wanita yang sedang jatuh cinta. Namun Fika datang tidak sendiri. Ia datang dengan seorang pria disampingnya. Entahlah, aku tak tau, ketika aku memandang wajahnya aku merasa jantungku bedebar keras dan hati terasa rindu dan ingin menangis. Seperti teringat pada memory masa salalu yang selalu ku harapkan terjadi segera. “Raya kenalin ni pacar baru ku, Yuda kenalin ini sahabat terbaik ku”  kata Fika dengan ramahnya.
Aku sangat terkejut saat kata “Yuda” keluar dari mulut Fika. Dan aku sangat berharap, Yuda milik Fika bukanlah Yuda orang yang selama ini ku tunggu.
Yuda tersenyum kecil kepada ku, dan mengangkat tanggannya kepada ku dan lalu kami berjabat tangan. Kami pun berbincang-bincang seputar kehidupan kami dimasa lalu yang di temani dengan 3 gelas cappuccino dan cemilan yang ada di atas meja. Setiap bait kata yang di ucapkan Yuda  semangkin terasa membunuh jiwa ku. Semua, ya semuanya mengarah pada Yuda si cinta pertama ku. Aku tidak dapat berkata-kata apapun lagi. Lidah ku terasa kaku saat hati terluka miris. Air mata ini tak mampu lagi rasanya aku menahan untuk tidak keluar dan menjadi saksi bisu kepedihan hati ku didepan mata sahabat dan orang yang sangat aku cintai. Hasrat hati ingin bertanya apakah dia adalah Yuda orang yang aku cinta. Namun kenyataannya aku tak snaggup melakukan semua itu. Tuhan inikah hadiah yang terindah yang selalu aku nanti darimu? Seperti tertimpah bebatuan yang teramat besar diriku. Karena ketidak sanggupan ku untuk menenangkan hati ini.
Hari-hari ku seakan usang, kusam, rapuh, termakan rayap yang meraja rela dalam senyuman palsu. Dalam hati ku selalu menyebut nama Mu, sembari ku titip doa agar Yuda sang pujaan hati bukan Yuda yang sedang duduk di depan mata. Malam pun datang menjemput kegundahan yang masih terselip disisa-sisa senja itu. Awan manisku menyelimuti dunia, seakan ikut dalam lirih kehampaan. Sebuah mobil mewah milik Yuda, mengantarkan aku dan Fika segera pulang. Ku dapati cerminan diri seorang Yuda yang tergendong manja di pelukan seorang ibu yang beraut bahagia. Tak kuasa aku menanyakan tentang photo yang tergantung antara kaca mobil depan. Yuda menjawab sambil tersenyum malu, yang mana ia memberi tau ku bahwa dialah orang yang berada di photo itu. Bersama ibunya yang sudah 5 tahun yang lalu pergi meninggalkan dirinya bersama ayahnya.
Aku terharu dan merasa turut bersedih mendengar cerita Yuda yang hatinya terlihat bersedih walau parasnya tak sama sekali mencerminkan kesedihannya itu. Lamunan ku sekejap itu pun terkejutkan dengan reman Yuda yang terhenti tepat di depan rumah ku. “Raya, udah sampai nih, kamu hati-hati ya!” Fika mengagetkan ku dengan nada suara khas milik nya. “oh ok, terima kasih ya Fik, Yud! Sudah mau repot-repot mengantarkan ku pulang kerumah”. “oh tak mengapa, kami sanggat senang bisa berbagi tumpangan dengan mu” sahut Yuda dengan nada yang rendah.
Ku ambil sebuah bantal panjang milik ku, lengkap dengan sarung batik berwarna hijau pupus dan sebuah bantal biasa dan tentunya dengan sebuah selimut khas milik ku berwarna orange garis-garis. Ku rebahkan tubuh ku di antara kasur ku yang bersepraikan hijau pupus itu. Ku nikhmati kenyamanan di malam itu. Ku coba mengrefreshkan kembali, pikiran-pikiran  gundah ku, yang sudah terlatih mengganggu ku sejak bertemu dengan seorang lelaki bernama Yuda, pacar Fika sahabat ku.
Ku bayang-bayangkan kembali, wajah milik nya. Ku ingat-ingat kembali tentang karakteristik yang di miliki oleh Yuda ku. Dan aku mencoba, untuk menjadi seorang Yuda yang mana bertaut di otak ku, apakah ia merasakan getaran yang sama seperti ku, ketika dia mendengar nama ku? Ah, sudahlah… aku tak bisa menebak dengan pasti. Yuda yang ku temui kali ini, sosok lelaki yang hangat dan misterius, hingga aku sulit untuk menebak apa dan bagaimana dia. Namun seketika waktu berdentang menemani ricuhnya malam ku, sisi hati ku berkata : “ lalu apa yang akan aku lakukan, bilalahmana dia adalah Yuda yang selama ini aku tunggu, Yuda yang tak aku tau lagi bagaimana rupanya? Apakah aku akan tetap mengejarnya? Walaupun itu melukai hati Fika, sahabat terbaik sepanjang masa yang ku miliki di hidup ku? Apakah aku tega? Apakah aku rela? Apakah aku mampu? Oh, persahabatan atau cinta yang akan menjadi pilihan hati?
Pertanyaan-pertanyaan yang sedikit tidak jelas kemana arah berlalunya, terlupakan sejenak. Aku yang lelah dengan masalah ini dan itu lebih memilih pergi untuk sesaat dari kegelisahan itu kemudian pergi menyusul mimpi yang hendak ku telusuri.
Pagi, ya pagi kian datang dan menetap untuk sesaat menemani hari ku yang beruang sempit. Aku yang merasa malas untuk memulai aktivitas ku yang ini begini dan begitu saja yang harus bersiap dan menyiapkan diri untuk pergi dan pulang ngampus yang mana semua itu terjadi untuk hampir setiap harinya kecuali minggu dan benar adanya aku mulai bosan. Namun ku tetap saja, terus dan terus mengikuti pola hidup yang ku tunjukan bukan cara aku untuk hidup. Pagi itu, ku melangkah turun ke lantai melewati anak tangga yang berdiri dan berbaris rapih di pinggiran dinding sepanjang mata memandang. Ibu, seorang ibu terbaik didunia milik ku, telah bersenang hati menanti ku untuk sarapan di pagi itu. Terkadang aku berpikir, ibu terbaik di dunia ku sudah semankin tua dari hari ke hari. Bila waktu telah letih menemaninya, bila udara telah enggan bernaung di singgah sana pernafasannya, bilalah mana tuhan telah merindukan kehadirannya. Maka aku benar-benar sendiri berada di dunia ini. Dan disaat itu lah, aku benar-benar kehilangan semangat untuk tetap bertahan di dunia yang serba membinggungkan ini.
Aku Raya, 20 tahun. Ku mengambil jurusan sejarah di kampus tercinta ku yang di penuhi dengan tumbuhan hijau menjulang tinggi dan besar, hingga rimbunnya mampu menentramkan jiwa. Dan hari ini adalah hari dimana Fika si sahabat terbaik ku, sahabat yang selalu ada di saat aku butuhkan, sahabat yang selalu setia menemani kegelisahan dan sahabat yang selalu mendukung ku untuk mencari pacar, ia berulang tahun ke 21 yang mana akan di meriahkannya malam ini.
Jam perkuliahan ku telah habis kini dan aku memutuskan untuk pergi ke mall sebentar dan membelikan Fika sebuah tas berwarna coklat muda untuk hadiah ulang tahunnya. Proses memilah-milah barang yang bagus dan lebih bagus terjadi sangat alot. Hingga aku sangat sulit untuk menentukan mana yang lebih baik untuk ku berikan kepada Fika. Tidak lama kemudian aku di kejutkan dengan sebuah jawaban yang menunju ke arah genggaman tangan di sebelah kiri ku, “yang ini lebih bagus deh!” sahut suara seorang pria. Aku terkejut bukan mainnya dikala itu. ku lirik baik-baik wajah si pemilik suara itu, ku nampaki Yuda yang sedang berdiri dihadapan ku dengan seorang temannya. Lamunanku terhenti sesaat, “hei, kamu Yuda pacar Fika kan?” aku meyakinkan diriku. “iya ini aku” lembut jawabannya sambarih tersenyum manis. Dan akhirnya aku memilih pilihan yang Yuda pilihkan untuk Fika.
Yuda dikala itu, kulihat sosoknya sangatlah mendebarkan hati. Sampai aku ingin mati melihat wajah-wajah yang selama ini ku nanti. Dan perasaan ku saat itu semangkin menggebu untuk menanyakan apakah dia adalah Prayuda Mistrianto, lelaki yang selama ini menjadi alasan ku menutup hati untuk mahkluk adam yang lainnya. Namun tetap saja, keberanian ku belumlah terkumpul semuanya.
Yuda memperkenalkan temannya kepada ku yang bernama Fadil. Fadil adalah sosok lelaki yang bersih, tinggi, mancung, manis, tidak berambut ikal, dan sangat sopan. Persis dengan karakteristik lelaki yang aku impikan yang mana semua itu juga di miliki Yuda. Namun ntah mengapa aku tak punya sedikitpun perasaan kepada Fadil. Lalu aku bertanya kepada Yuda, alasan apa yang membawanya ke mall siang itu. Dan dia pun menjawab singkat, “iya, ini aku juga ingin membeli hadiah untuk Fika namun belum ketemu juga. Dan Fadil ini adalah sepupu ku yang untuk beberapa minggu ini tinggal di rumah ku. Oiya, Fadil ini udah jadi Sarjana  Ekonomi loh, dan dia masih saja jumbo”. Jelasnya panjang lebar kepada ku. Dan aku hanya tersenyum saja. Dan kemudian kami pun terpisah di siang itu.
Senja telah menyapa ku di balik jendela kaca di kamar tidur ku. Aku yang masih saja memikirkan pertemuan tak terduka tadi siang itu. Menghanyutkan ku dalam buaian wajah Fadil. Lalu aku pun tersadar, Fadil? Mengapa dia? Ah sudahlah, sore itu lebih ku putuskan untuk bersiap ke pesta Fika.
“Tok-tok-tok” terdengar suara tangan ibu ku mengetuk-ngetuk pintu kamar ku. Aku pun membuka pintu itu dengan raut yang berseri. “ada apa bu?” kemudian ibu ku membawakan aku sebuah gaun berwarna merah muda lembut miliknya dahulu. Dia meminta ku untuk memakainya ke pesta Fika. Dan aku menolaknya lembut, bukan karena aku tak menghargai kebaikan hati ibu ku, bukan karena aku tak ingin membuat ibu ku bahagia, bukan karena gaun itu buruk! Gaun itu masih terlihat bagus tanpa debu dan kerusakan sedikit pun. Namun masalahnya sekarang adalah, aku tak menyukai warna merah muda dan parahnya lagi aku tidak suka memakai gaun, aku lebih suka dan memilih pergi kepesta dengan jins panjang ku berwarna biru terang dan kaus putih milik ku. Tapi lagi dan lagi aku tak bisa menolak permintaan ibu ku dan terlebih ia menujukan wajah kecewanya kepada ku. Dan tak kuasa, ku pakai gaun itu. Kemudian ibu ku mendandani ku dengan sentuhan-sentuhan wanita dan memakai sepatu bertumit tinggi, rambut terurai panjang dan bedak serta pewarna wajah yang tak ku tau namanya itu yang melekat erat di wajah ku.
Ketika itu ku tatap baik-baik wajah ku didepan cermin. Ku melihat sosok seperti gaya Fika disana. Namun itu aku, tapi bukan seperti aku. Oh sungguh, ini seperti mensabotase identitas diri ku. Tapi tak mengapalah, ini akan menjadi terakhir kalinya hanya untuk membuat hati ibu ku senang. Setelah itu tak akan pernah mau ku pakai ini dan itu lagi. Aku pun pergi meninggalkan ibu ku dengan membawakan sebuah hadiah untuk Fika dan dengan cara jalan yang masih ingin ku sesuaikan. Sungguh, sepatu ini tak mampu membuat jalan ku jauh lebih baik. Tubuh ku bermiring kanan dan kiri karenanya, bak seorang lelaki yang terkena serangan akhol semalam.
Sesampainya di pesta meriah milik Fika itu, aku di sambut hangat olehnya. Aku dipeluk bahagianya dan aku membalas pelukan bahagia itu. Tak lupa, ku tuturkan kata-kata manis, kata-kata keselamatan, kesehatan, masa depan yang cerah, dan sebuah persahabatan yang tak mengenal akhir di antara kami. Wajah Fika sangat berseri-seri hingga menularkan kebahagian miliknya kepada teman yang lainnya disana. Dia memuji gaya feminine ku malam itu, dan dia sangat senang karena aku sudah sadar akan kodrat ku sebagai seorang wanita. Namun sisi hati ku berkata : “bukannya dari dulu aku lurus-lurus aja ya?”.
Pertanyaan di benak ku yang berlangsung sekejap itu, seketika terbuyarkan dengan suara Yuda yang menghampiri Fika dan mencium kening Fika di depan mata ku. Ntah mengapa, hati ku berubah jadi panas dan mata ini, mata ini terasa hendak menjatuhkan segerombolan cairan lainnya untuk menitih sebagai symbol larahnya hati. Tak kuasa aku lebih memilih untuk menjauh dari Fika, dari Yuda, dari keramaian. Ku bawa lara itu ke sisi taman milik Fika yang sedikit sunyi.
Tiba-tiba ku di kagetkan dengan tepukan tangan yang jatuh di pundak ku, ya! Fadil di sana. Aku sungguh malu kepada Fadil, karena pada posisi ku bertatap muka dengannya air mata ini tak bisa lagi ku pendam terlalu lama hingga akhirnya jatuh menitih dan menemani kebisuan sesaat di antara kami. Dia menanyakan kepada ku, tentang mengapa aku menangis, tentang mengapa aku berada disana seorang diri, tentang mengapa ku tak bergabung dengan yang lainnya, tentang dengan siapa aku pergi ke pesta itu dan pertanyaan bodoh terakhir yang ia ucapkan adalah apakah aku Raya? Oh tuhan, bagaimana mungkin dia bertanya sebanyak itu, bilalah hati nya tak teguh untuk ingat pernah berkenalan dengan seseorang sebelumnya atau tidak. Aku yang setadinya sedih, penuh gerutu dalam hati kini tak sanggup lagi untuk menahan tawa yang seakan hilang kendali ku tuangkan tanpa segan dihadapan Fadil. Ternyata di balik ke misteriusan yang sesekali di tunjukannya, ia punya sesuatu hal yang tak pernah ku duga sebelumnya.
Kemudian tatapannya berubah setelah mengamati ku lebih dalam lagi. Katanya ia tak menyangka, jika aku adalah Raya yang tadi siang di jumpainya. Karena menurutnya penampilan ku yang sekarang jauh berbeda dengan gaya ku tadi siang yang sedikit masculine. Percaya!, sebegian kata yang terlontar dari mulutnya tak membuat ku kesal atau risih namun sebaliknya. Rasa tawa yang mengguyur ku basah seakan tak ingin berhenti. Ya! Selain perbincangan tentang gaya ku berpakaian, kami pun banyak mengobrol tentang ini dan itu, mengalor ngidul (kata orang jawa) yang ntah kemana-mana arahnya. Tentunya aku tak ingin melewati kesempatan emas itu. Aku membongkar-bongkar tentang apa dan siapa Yuda sebenarnya. Namun sayang misi ku kali itu taklah berhasil, karena Fadil nampaknya bukanlah seorang lelaki yang mudah untuk di korek-korek informasi dirinya ataupun orang-orang yang ada di sekitarnya dan ia hanya ingin bercerita banyak tentang sesuatu hal yang kurang penting yang hanya bertujuan memudarkan stress yang mampu membuat kerut di dahi-dahi menua.
Namun hati ini tak pernah gentar untuk mencari tau siapa Yuda sebenarnya. Ku telusuri arahan hati yang mampu mengumpulkan tekat ku dan membulatkan keyakinan ku. Bilalah mana Yuda adalah Yuda yang ku cari. Ku pinta dua belas angka milik Fadil yang mana angka-angka itu mampu mendekat kan hubungan komunikasi ku dengan Fadil semangkin dan semangkin dekat, di akhir-akhir cerita malam penuh rasa itu. Sungguh ku berjanji dalam hati, 1001 cara akan ku tempuh untuk suatu penantian panjang ku yang penuh dengan kegelisahan yang sungguh tak ingin ku sia-sia kan begitu saja, terbuang percuma. Ku atur strategi yang handal dan penuh dengan ketelitihan hati.
Ku ubah diriku. Ya!!!! Bukan seorang Raya si cewe cuek lagi yang terlihat sekarang. Raya ku sayang telah tertidur pulas di pembaringan yang lembut sehalus kapas. Kini yang ada, adalah Raya si cewe feminine yang penuh dengan perhatian. Yang mana perhatian yang bukan dari lubuk hati ku itu, ku tunjukan keras hanya untuk Fadil. Untuk membujuk hatinya lebih terbuka kepadaku. Oh ntahlah mengapa aku seolah-olah ingin merusak jati diri ku sendiri, tapi sekali lagi, aku tak ingin menjadi terlalu sakit dengan ketidak pastian ini yang ku tanggung sudah dari 9 tahun yang lalu. Sungguh, ingin ku bertanya langsung kepadanya, ataupun kepada Fika untuk ku bercerita. Namun bagaimana bisa ku sanggup. Aku hanya tidak ingin merusak persahabatan di antara kami, bilalah mana hal itu benar adanya. Disamping itu aku tak pernah bercerita sedikit pun tentang nya, jadi bagaimana bisa ku menanyakan hal itu secara mendadak.
Kini senja di hari sabtu ku, kunjung datang lagi dan lagi tanpa bosannya. Ya! Aku pun tak pernah bosan untuk menantinya, menanti suatu kebebasan dari fikiran tugas-tugas kampus yang menumpuk semangkin hari yang tak sanggup lagi untuk ku lirik walaupun sepintas.
Ku lirik handphone ku dan ntah mengapa tangan ini bergerak untuk mengcalling Fadil. Ya! Mungkin alasan hati untuk menjalankan suatu misi yang terbengkalai sejenak. Baiklah! Aku lakukan segera, ku tuntaskan segera!. Ku akan bertemuan dengan Fadil di sebuah café yang tidak jauh dari rumah ku. Tak ingin ku lewatkan kesempatan itu, ku berdandan sebaik mungkin untuk Fadil bisa terpikat kepada ku hingga menjadi dekat dengan ku, merasa nyaman dan mau menuangkan seluruh infomasi yang aku butuhkan.
Aku pun bergerak dari tempat ku bercermin menuju café itu. Ku lihat sosok Fadil yang memakai kaus oblong berwarna putih, celana ponggol dan sendal jepit. Oh Tuhan sungguh malu aku disana, seperti seekor kecoak yang mati mendadak terpukul dengan garukan badan. Dengan melihat diri ku memakai gaun yang mencerminkan kewanitaan sekali Fadil tertawa tak merasa segan-segan sedikit pun di hadapan ku. Sungguh aku kehilangan wajah, yang ku pikir malam itu akan menjadi malam yang sangat romantis dan di penuhi kata-kata cinta pertama ku, ternyata aku salah, aku keliru.
Dalam lencana misi selanjutnya aku tak ingin lebih mempermalukan diri ku. Aku lebih memilih untuk diam. Karena bagi ku diam menjadi alternative yang sangat tepat untuk ku malam itu dari pada aku berbicara yang tidak-tidak yang bisa lebih menghancurkan repotasi ku sebagai Raya si cewe manis. Ya! Seperti yang ku duga. Fadil pun tak mau memulai percakapan dimalam itu, sebuah basa basi ketika minum dan makan malam. Yang ada dia hanya sesekali melirik kearah ku dan tertawa kecil.
09:02 ku lihat waktu itu di sebuah jam yang melingkar sedikit erat di tangan sebelah kiri ku. Dan sampai terakhir kalinya ku tatapi angka-angka itu masih saja tak sedikit pun suara yang keluar dari mulut Fadil. Baiklah aku akan memulai sebuah pertanyaan yang ku tujukan kepadanya. “apa kamu suka makanan disini?” dengan terbata-bata kata-kata itu mengalir dengan sedikit sukses. “suka” jawaban yang begitu singkat yang sedikit membuat hati ku memanas tak menentu. “ehm, yaudah deh. Makasi ya! Udah mau nemeni aku dinner, oh iya maaf ya! Aku mau balik duluan, soalnya ibu aku sendirian dirumah, kasian kalo aku tinggal lama-lama”. Jelas ku kepadanya dengan senyuman ringan. “ok” katanya sesinggakt itu. Astaga, wajah ku berubah memerah. Suatu jawaban yang sebenarnya tak pernah aku inginkan keluar dari mulutnya. Sedikit jawaban basa-basi lebih berarti di hati ku saat itu mungkin. Dan entah mengapa, aku serasa ingin mencampakan muka ini hingga terbanting di tanah lalu ku injak-injak dan memusnahkannya singkat. Hingga tak ada satu orang pun lagi yang mampu menemukan keberadaannya.
Aku pun berjalan menuju jalanan dan mencari taxi. Tiba-tiba dia datang dan mengampiri ku, lalu menggenggam erat pergelangan tangan ku sebelah kanan. Aku menatap matanya terkejut, matanya berbinar ria, seakan suatu hal hendak di kata kannya. Dia pun berkata : “kamu mau gak, kalo aku yang anteri kamu pulang?” aku terdiam terpaku. Tak bisa bergerak, apa lagi berkata. Dan seakan ia tak ingin menghabiskan waktu lebih lama. Di ambilnya sebuah sikap dan menuntun arah kaki ku kedalam mobil miliknya. Dan dia mulai lagi, menjadi seperti Fadil yang ku temui dalam pesta Fika, dengan segerombolan cerita humornya. Dan kami seakan dua anak manusia yang mempunyai jiwa yang sama dalam dunia berbicara humor.
Ban mobil miliknya pun terhenti, tepat di gerbang rumah ku. Lalu ia berkata dengan dewasanya : “nanti aku telpon ya!”. “baiklah, kamu hati-hati ya!” hah, Tuhan,,, malam itu terjadi begitu saja tanpa di duga-duga. Selayaknya aku sungguh mengharapkan dia menjadi bagian di hidup ku, tapi ntah mengapa aku berfikir jika diri ku sedikit kejam kepadanya. Harapan palsu dan perhatian palsu yang terjadi antara aku dan Fadil.
Setengah jam ku tatapi handphone ku untuk berbunyi merdu. Tapi nada itu tak kunjung tiba jua. Lelah ku menunggu menghantarkan ku dalam lelapnya lelah, ku rebahkan tubuh di sembaringan kapas mulus, putih, dan lembut itu. Hingga larutnya malam membuaikan ku dalam mimpi semanis madu.
Pagi itu ku tersadar diantara awal pagi yang memanggil-manggil ku untuk turut berjaga dan memulai aktivitas. Namun ingatan hari libur dan malasnya tubuh beranjak membuat ku terlelap kembali dan melanjutkan sebuah mimpi yang belum usai ceritanya. Aku terbangun nyata di antara matahari yang sudah menapaki di antara tengah-tengah atas kepala ini. Ku cari keberadaan handphone ku, yang tiba-tiba aku teringat kepada Fadil. Sekejap ku buka handphone, ku mendapatkan 3 panggilan tak terjawab dan 2 pesan yang belum sempat ku baca dari Fadil. Yang mana ia hendak datang kerumah ku dipukul 2 siang ini. Ya 2 siang ku itu bersisa 28 menit lagi. Aku bersegera mandi dan bersiap, karena aku tak ingin Fadil melihat wajah kusam ku.
Ya! ia pun datang dengan santunnya. Ia pamit kan aku dengan ibu dan membawa ku ke suatu tempat. Di sebuah gedung tua yang tak berbentuk dengan lengkapnya lagi. Gedung tua yang tinggal fondasi menjulang keatas. Ku melihatnya indah. Ia ada di antara  danau kecil menhijau. Kami pun datang dan menghampirinya. Melewati anak tangga yang berbaris rapi dihadapan.
Aku memandang ke bawah, ku tatap kesekitar hamparan memandang. Penuh dengan air yang tergenag riang dalam kubangan alam. Penuh dengan ilalang yang manja, bergelayut rimbun penuh kebimbangan. Aku bertanya suatu hal padanya, alasan apa yang mendorongnya membawa ku kesana. Lalu ia pun menjelaskan secara terperinci, seakan tak mengenal titik apalagi space.
Dahulu ia mempunyai mantan kekasih bernama Naya. Ya! sebuah nama yang hampir mirip dengan nama ku. Ia sangat mencintai Naya melebihi dirinya sendiri. Usia dari hubungan asmara mereka terjalin 6 tahun lamanya, untuk menemui sang nenek yang sudah sekarat. Namun sayang, Naya tewas dalam perjalanannya ke bogor dengan kereta api tiga tahun yang lalu. Dan itu menjadi pukulan dahsyat untuk Fadil menjalin kasih. Dan Naya, Naya Anggraini adalah gadis cantik, putih, baik, serta sangat anggun dalam tutur geraknya yang sangat jauh berbeda dengan aku. Yang dahulu hampir setiap senja, mereka hadir dan mengunjungi tempat itu berdua. Menyaksikan matahari tenggelam dan bersembunyi di bilik-bilik gedung yang menjulang tinggi lainnya.Oh sungguh, aku terbayang akan sebuah misi ku yang menjadi alasan mengapa aku dekat dengan Fadil. Dan rasa bersalah ku menggebu seketika semangkin dalam dan tajam.
Kami pun duduk berdua, di pinggiran gedung tingkat teratas itu. Menikmati pemandangan indah dikala senja menyentuh kami dengan caranya. Seiring penantian itu, penantian di saat-saat awan memerah muda, melambai-lambaikan tangannya untuk pergi sekejap. Kami berbincang-bincang akrab dengan canda dan tawa khas cara kami mengabadikannya menjadi sebuah kenangan. Ntah mengapa, dipertengahan perbincangan itu. Terselip sebuah tatapan yang menjurus tajam kedalam bola mata ku. Tanpa perlawanan ku ikuti suasana yang mampu menghipnotis romansa kala itu. Dimana mata terpejam, berusaha menikmati segala hal yang terjadi dengan setengah sadar. Ketika itu, ketika matahari menempati posisinya untuk mulai bergerak dan menghilang, ketika itu segerombolan burung-burung berlalu lalang terbang diangkasa dan ketika itu pula kedua tangan ku tergengngam erat dan teremas mesrah dalam genggaman tangan Fadil, bersamaan hal itu kedua bibir kami bersentuhan seakan menyatu sekejap. Dan itu adalah ciuman pertama ku. Pergerakan itu dilakukan berulang kalinya oleh Fadil dan kemudian aku mengikutinya dengan nafsu yang memburu. Namun tiba-tiba wajah Yuda terlintas diingatan ku dan secara tak tersadarkan diri, nama Yuda keluar dari mulut ku. Fadil terdiam sesaat. Seakan-akan kata-kata yang terlontar lewat bibir ku kurang pasih ditelingganya dan terdengar samar-samar. Lalu ia bertanya “apa? Siapa yang kamu panggil tadi?, Yuda?”. Dan aku pun menjawabnya “bukan siapa-siapa ko”. Lalu Fadil berkata “oh yauda kalo gitu, makasih ya!”
Malam pun mulai menjajakkan kakinya ke permukaan bumi tercinta. Dan aku meminta Fadil untuk mengantarkan ku pulang ke rumah. Sesampai dirumah, aku membayangkan hal bodoh yang aku lakukan tadi sore dengan Fadil. Sebuah ciuman pertama yang aku rawat dan ku jaga hanya untuk Yuda, tapi mengapa Fadil yang mengambilnya. Ciuman tanpa permisi dan tanpa ikatan itu terjadi begitu saja. Oh TIDAK, aku serasa ingin menjerit dan menangis.
Tiba-tiba telepon genggam ku alias handphone ku berbunyi. Fadil menelphon ku di malam itu. Oh tidak, aku sedang tak ingin bercengkramah dengannya. Dan fikir ku, lebih baik tidak mengangkat telpon darinya.
Sungguh ingin sekali ku bercerita ini semua dengan Fika atau ibu ku. Namun aku tidak punya keberanian untuk curhat tentang cinta ataupun ciuman yang belum pernah ku bahas seumur hidup ku sebelumnya. Aku harus menyudahi sandiwara ini dan harus menuntaskan misi ku segera. Setelah itu tak akan ku dekati Fadil lagi, agar sakit hatinya tak terlalu dalam nantinya.
Tiga hari sesudah hari itu, aku berjumpa kembali dengan Fadil di atas gedung itu. Ia bertanya hal yang sederhana, mengapa aku seakan menghilang dari hidupnya. Dan aku lagi-lagi tak menjawab pertanyaanya dan mencari jalan untuk mengalihkan pembicaraan. Lalu, dengan berhati-hati aku menanyakan siapa sebenarnya Yuda itu. Ia menatap ku dengan tatapan yang berbeda. Seakan heran dengan pertanyaan ku yang mengurusi pacar sahabat ku sendiri. Dan kali ini, ia yang membisu. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Lalu aku membujuknya halus untuk memberikan jawaban kepada ku.
“Aku akan menjawab pertanyaan kamu, tapi kamu harus menjawab terlebih dahulu 2 pertanyaan ku” katanya jelas. “Baiklah, apa itu Fad?” jawab ku. “Pertama!, mengapa kamu menghilang beberapa hari ini? Dan kedua, Mengapa kamu bertanya tentang Yuda?”. Aku pun menjelaskan alasan ku : “Ok, aku akan menjawabnya! Aku tidak menghilang begitu saja, aku hanya sedang sibuk dengan kuliah ku yang mana tugas ku menumpuk tak karuan dikamar, jadi maafin aku kalau aku terlihat acuh. Dan Fad, aku pingin jujur ke kamu. Soalnya, aku gak mau ada hati yang terluka diantara kita nantinya. Alasan aku dekat sama kamu, cuman untuk mencari informasi tentang Yuda. Karena aku yakin Yuda Mistrianto itu adalah teman dikala aku duduk dibangku sekolah dasar yang sudah 9 tahun kini ku tak pernah berjumpa dengannya dan selama 9 tahun pula aku menutup hati ku untuk lelaki lainnya, karena aku yakin! Soulmate ku adalah Yuda. Tapi kamu tau? Yuda adalah pacar dari sahabat ku sendiri. Yang tak mungkin dan haram bagi ku untuk mengusik mereka. Namun bagaimana dengan hati ku.! Sedemikiannya aku yakin Yuda adalah Yuda yang aku cari, tapi aku tetap saja ingin keajaiban datang pada ku dan merubah itu semua. Maka dari itu aku mendekati mu untuk mencari kebenaran itu dan meneguhkan hati ku bilapun jawaban mu pahit. Maka dari itu, maafin aku ya Fad, sungguh aku tak bermaksud mempermainkan perasaan mu!.”
Dengan penjelasan itu, air mata ku pun tak kuasa dan akhirnya jatuh menitih. “Dan sekarang aku mohon beri tau aku siapa Yuda itu”. pinta ku memelas. Kemudian Fadil menjelaskan kepada ku siapa Yuda sebenarnya. Ya! ternyata Yuda adalah orang yang selama ini ku cari. Dan kebenaran pahit lainnya adalah ternyata Yuda pun sudah mengtahui jika aku adalah Raya teman yang duduk disekolah dasar. Kata Yuda, aku adalah sebuah masalalu. Dan janji diwaktu kecil yang kami buat itu seakan omongan yang gak penting dan berlalu bagi Yuda. Tentu aku tak sepercaya itu, lalu aku pergi meninggalkan Fadil sendirian disana dan pergi ke rumah Yuda untuk mengkonfirmasi kebnarannya dengan langkah penuh gelisah dan amarah.
Sayang, sungguh malang nasib ini tak kunjung berbuah bahagia. Ternyata perkataan Fadil bisa ku genggam dan buktikan, setelah keterangan itu mengalun mulus di antara mulut Yuda.
Aku sungguh terpukul akan hal itu. 9 tahun tiada henti menunggu, namun harus rela terbakar hangus semuanya untuk sebuah jawaban murni.
Ku kuatkan tubuh ku bertahan ditengah badai nestapa. Di antara persahabatan, penantian, kesetiaan, hingga ciuman pertama. Ku putuskan untuk pergi menginap di rumah nenek bersama ibu ku untuk bebebrapa minggu. Dan selama beberapa minggu itu, aku tak pernah membalas pesan dari Yuda, Fika maupun Fadil. Semuanya ku relakan untuk berlalu.
Diantara sikap acuh ku ke mereka, terselip wajah Fadil di sana. Sungguh kali itu ku merasa rindu yang sangat berat ke Fadil. “Atau jangan-jangan aku jatuh cinta kepada Fadil?”. Oh hentahlah. Kaki ku seakan menuntun ku kearah yang seharusnya ku tuju. Ke bangunan tua itu di kala senja sudah mulai bersiap siaga. Ku temui sosok Fadil disana dengan posisi berdiri dan membelakangi ku. Kemudian, ku panggil namnaya semangat!. Ia menolehkan tubuhnya dan merebahkan kedua tangannya, seolah sebuah pelukan menanti ku. Akupun berlari dan melengkapi pelukan itu.
Dan Aku memulai kata-kata ku dengan kata maaf, kemudian kami duduk kembali di antara pinggiran gedung itu unuk menyaksikan matahari tenggelam. Ya! senja itu telah meninggalkan kami begitu saja. Dan malam kian larut menghampiri. Dingin karena semilir angin tubuh ku terangsang kehangatan. Dan Fadil mencoba menghangatkan ku dengan jacket yang ia pakai untuk menutupi tubuh ku. Gelap dimalam itu hanya bertemankan sebatang lilin dan sinar rembulan. Miris keadaan dikala itu bersama nyamuk-nyamuk yang menemani tak membuat kami ingin beranjak dari tempat itu. Aku wanita yang merindu akan cinta dari seorang lelaki yang belum pernah ku merasakan sekali pun, berharap Fadil akan menyatakan cinta kepada ku. Namun ntah mengapa, kata-kata itu tak muncul-muncul jua. Angin memburuh pori-pori semangkin dalam yang membawa kami dalam kelenaan suasana. Dan lagi-lagi ia melakukan itu pada ku. Ciuman kedua, ketiga dan keempat ku terjadi lagi dengannya. Ya! ciuman tanpa ikatan yang berlangsung penuh debar itu.
2 tahun berlalu, kejadian antara cinta monyet ku serta sikap Yuda kepada ku sudah lama ku maaf kan dan ku lupakan. Dan minggu depan adalah pernikahan sahabat ku, Fika dengan Yuda. Dan aku sedang berjalan-jalan dengan Fika untuk hunting bunga-bungaan yang akan menjadi pemnais di pernikahan Fika. Sembarih memilah-mila bunga-bunga indah itu, aku melihat Fadil berjalan bersama seorang gadis yang sanagt cantik. Tak kuasa ku meninggalkan Fika seorang diri dan mengejar kearah Fadil berlalu. Ku memanggil nama Fadil. Fadil dan gadis itu pun berrhenti. Fadil terlihat gugup. Tapi, ah hentahlah. Lalu aku menarik lengan Fadil dan membawanya pada jarak yang cukup jauh dari gadis itu. Kemudian bertanya pada Fadil tentang siapa gadis yang berdiri disampingnya. Aku yang seakan berapi-api, namun Fadil berkata santai. “Dia teman aku!”. “teman? Fad, kamu hargai dong perasaan aku! Aku sakit, kalau kamu jalan sama cewe lainya!” jawab ku. “kenapa kok kamu marah-marah? Kamu cemburu?” katanya polos. “bukannya kita tidak punya hubungan apa-apa ya?” sambungnya. Aku yang merasa ingin meledak-ledak berusaha menjelaskan santai lalu aku berkata “sudah 2 tahun kita kenal, 2 tahun pula kita sering jalan bareng, kamu beri perhatian lebih ke aku begitu juga dengan aku, hingga terjadi ciuman-ciuman manis itu dan kamu tidak menganggap hubungan itu?”. Lalu ia mengutarakan isi hatinya dengan amarah yang meledak-ledak : “Bukankah kamu mencintai Yuda dan bukan aku?, bukankah Yuda adalah soulmate mu yang tak munkin untuk mu menggantikan posisinya? Dan bukankah aku hanya sebagai pelarian mu saja? Lalu dimana letak kesalahan ku untuk menyayangi hati yang lain?”. Lalu aku meninggalkannya bersama gadis cantik itu dengan wajah yang kusam dan cemberut serta mata yang berkaca-kaca.
Dan aku pun menangis pulang ke rumah meninggalkan Fika seorang diri dengan kata maaf. Hari itu aku tak ingin keluar kamar dan juga tak berselera untuk makan. Hingga ibu ku bertanya apa yang terjadi padaku, namun aku lebih memilih diam dan belum mau untuk menjelaskan kepada ibu ku. Dan disaat itulah aku tersadar, bahwa cinta yang tersembunyi ini telah bersemayam lama dihati ku. Dan meninggalkan pemikiran tentang Yuda dengan mudahnya, khalayak cinta yang ku puja sekian lamanya kini hancur lebur tak berbekas.
Tiba-tiba Fadil datang malam itu bersama gadis yang tadi siang jalan bersamanya. Ku luluhkan hati ku, ku buka kamar ku. Ku usap air mata ku dan berusaha menjadi dewasa dan mulai merangkai kata-kata. Sebelumnya untuk ku memulai, Fadil sudah memulai start ku, ia menjelaskan bahwa gadis itu bernama Heli yang tidak lain adalah kakak kandungnya yang baru saja menyelesaikan S1 nya di Singapura. Dan sungguh aku terkejut lalu bersimpuh malu.
Dan untuk keesokan hari nya ia meminta ku untuk datang ke gedung itu. Dan disanalah ia bercerita banyak tentang alasan yang sudah lama aku menunggunya. Ia tak pernah mengatakan cinta kepada ku karena menurutnya hati ku masih terpaut dengan Yuda, ia tak ingin mencoba mengikat ku dengan sebuah hubungan karena ia takut bahwa hatinya bertepuk sebelah tangan dan karena baginya tingah laku itu lebih penting dari pada ucapan-ucapan berkhias cinta.
Namun semenjak saat itu, sungguh benar aku telah melupakan Yuda. Kini Fika dan Yuda telah resmi menjadi suami – istri, dan halal dari segala tatapan bermakna luas. Aku dan Fadil pun telah menjadi sepasang merpati yang terbang dan pergi menyelam diudara sesuka hati, kemudian kembali lagi pada domisi kehangatan hubungan yang tak pernah mati.