karya : Basyariah
twitter : @riah_meeng
Ketika
aku membuka mata, banyak lembaran-lembaran dedaunan yang dapat aku temui di
sudut-sudut kamarku. Pintu kaca terbuka dan terpenuhi dengan debu-debu yang
turut serta mewarnai pagi. Aku berdiri diantara sudut pintu yang mengarah ke
kamar mandi, tidak… aku tidak langsung membasuh wajah kusam ini. Aku berjalan
menuju balkon kamar ku. Ku pandangi pemandangan yang mampu menghanyutkan
kegelisahan seketika. Aku tertarik diantara angin yang berhembus lirih dan
menyentu baris-baris kening ini dan membawa ku berlari diantara mereka. Ku
ikuti turutan hati berlalu. Ku turun dari lantai kamarku, dan aku berteriak
bahagia. Walaupun aku tidak tau apa yang telah membuatku bahagia. Ku hampiri
asal muasal dedaunan yang berserakan di kamar ku. Ku pandangi setiap tumbuhan
yang ada di taman mini ini. Ku temui beberapa tangkai mawar merah yang berbisik
senduh takut akan berpisah dengan dunia. Dan akupun melirih senduh diantara
percikan-percikan air yang membasahi taman hati. Ku ambil gunting dan gelas putih
panjang serta bening lalu aku isi air untuk pengabdian mawar merah ku sayang.
Ntah
lah, bagaimana aku bisa menjelaskannya. Hasrat hati tertuju pada setangkai
bunga mawar merah yang bermekar sedang. Ku petik lalu ku persembahkan kedalam
gelas panjang nan rupawan hadiah dari teman lama ku sebagai tanda perpisahan.
Teman lama ku, ya teman lama. Dia adalah Yuda. Dia adalah teman yang sangat aku
rindu. Waktu yang memisahkan kami sejak 9 tahun sayang, karena suatu jalan
pendidikan yang tak sama tempatnya. Ya!
9 tahun aku telah mencintainya dalam kebisuan ku, menyesal? Pasti aku menyesal,
karena sampai saat ini pun aku tak dapat menemukan cinta pertama ku dan
mengungkapkan segala isi hati yang tak sanggup lagi ku pendam.
Sudahlah
pikirku, tak berguna bila ku selalu memikirkannya, yang akupun tak tau persis
bagaimana perasaannya kepadaku. Berharap menemukanya? Hentahlah munkin harapan
itu telah berubah menjadi mimpi yang tak munkin aku dapatkan. Bagaimana tidak?
Munkin saja rupanya telah berubah, sifatnya, atau munkin pehatiannya kepada ku pun
telah berubah. Marah? Tidak ada alasan bagiku untuk marah karena dia tidak
mencariku. Aku jelas mencintainya. Namun dia ? bagaimana isi hatinya? Aku tidak
tau. Ya penantian 9 tahun itu bukanlah hal yang mudah aku pertahankan untuk
tidak berusaha mencari tambatan hati yang lain. Munkin ini gila, namun inilah
yang terjadi padaku. Berharap pada seseorang yang tak tau dimana, dan bagaimana
hatinya.
Aku
kembali kekamar tidurku lalu ku pajang mawar merah itu di atas meja belajarku.
Umur ku 20 tahun sayang, aku belajar disalah satu unversitas swasta di kota ku.
Aku sering sekali merasa bahagia namun aku juga sering merasakan sedih hingga
aku menangis. Ntahlah, yang pasti pada hari itu sahabat ku mengajak ku kesuatu
tempat. Tentu aku tidak menolak dan tak akan pernah bisa menolak ajakan dari
seorang sahabat yang sangat aku sayangi.
Aku
bersiap-siap, mandi, berpakaian ala style aku J kata mereka
style tomboy yang sangat berbeda dengan Fika sahabat ku yang sangat cantik,
anggun dan mempesona. Biarlah pikirku, toh selama style ku tidak merugikan
orang lain tak berarti kata-kata itu bagi ku.
11:00
wib. Ini waktu aku janjian dengan Fika sahabat terbaik ku di tempat biasa kami
menikmati secangkir capucino. Kulihati sepanjang jalan yang menuruti
pemandangan mata ku. Ingin hasrat jiwaku menemukan serpihan masa lalu sembarih
ku tunggu Fika datang menemui ku.
Tiba-tiba,
handphone ku pun bergetar. Fika menelpon ku. Aku sedikit cemas takut hal yang
buruk terjadi pada Fika.
Hallo Fik,,,
Iya Fik, aku udah di
tempat biasa ni
Apa? Surprise ?
Surprise apa?
Rahasia? Pelit huuuu
Hahahahahahahahaha
Oklah, aku tunggu ya
,,,,
Ok …………..
Sembarih
ku menanti, ku pesan minuman kesukaan ku dari kecil, secangkir cappuccino
hangat. Tak lama kemudian Fika pun datang dengan pakaian bewarna merah tua,
parfum yang begitu terasa, anggun dan memikat yang bertandakan seorang wanita yang
sedang jatuh cinta. Namun Fika datang tidak sendiri. Ia datang dengan seorang
pria disampingnya. Entahlah, aku tak tau, ketika aku memandang wajahnya aku
merasa jantungku bedebar keras dan hati terasa rindu dan ingin menangis. Seperti
teringat pada memory masa salalu yang selalu ku harapkan terjadi segera. “Raya
kenalin ni pacar baru ku, Yuda kenalin ini sahabat terbaik ku” kata Fika dengan ramahnya.
Aku
sangat terkejut saat kata “Yuda” keluar dari mulut Fika. Dan aku sangat
berharap, Yuda milik Fika bukanlah Yuda orang yang selama ini ku tunggu.
Yuda
tersenyum kecil kepada ku, dan mengangkat tanggannya kepada ku dan lalu kami
berjabat tangan. Kami pun berbincang-bincang seputar kehidupan kami dimasa lalu
yang di temani dengan 3 gelas cappuccino dan cemilan yang ada di atas meja. Setiap
bait kata yang di ucapkan Yuda semangkin
terasa membunuh jiwa ku. Semua, ya semuanya mengarah pada Yuda si cinta pertama
ku. Aku tidak dapat berkata-kata apapun lagi. Lidah ku terasa kaku saat hati
terluka miris. Air mata ini tak mampu lagi rasanya aku menahan untuk tidak
keluar dan menjadi saksi bisu kepedihan hati ku didepan mata sahabat dan orang
yang sangat aku cintai. Hasrat hati ingin bertanya apakah dia adalah Yuda orang
yang aku cinta. Namun kenyataannya aku tak snaggup melakukan semua itu. Tuhan
inikah hadiah yang terindah yang selalu aku nanti darimu? Seperti tertimpah
bebatuan yang teramat besar diriku. Karena ketidak sanggupan ku untuk
menenangkan hati ini.
Hari-hari
ku seakan usang, kusam, rapuh, termakan rayap yang meraja rela dalam senyuman
palsu. Dalam hati ku selalu menyebut nama Mu, sembari ku titip doa agar Yuda
sang pujaan hati bukan Yuda yang sedang duduk di depan mata. Malam pun datang
menjemput kegundahan yang masih terselip disisa-sisa senja itu. Awan manisku
menyelimuti dunia, seakan ikut dalam lirih kehampaan. Sebuah mobil mewah milik
Yuda, mengantarkan aku dan Fika segera pulang. Ku dapati cerminan diri seorang
Yuda yang tergendong manja di pelukan seorang ibu yang beraut bahagia. Tak
kuasa aku menanyakan tentang photo yang tergantung antara kaca mobil depan.
Yuda menjawab sambil tersenyum malu, yang mana ia memberi tau ku bahwa dialah
orang yang berada di photo itu. Bersama ibunya yang sudah 5 tahun yang lalu
pergi meninggalkan dirinya bersama ayahnya.
Aku
terharu dan merasa turut bersedih mendengar cerita Yuda yang hatinya terlihat
bersedih walau parasnya tak sama sekali mencerminkan kesedihannya itu. Lamunan
ku sekejap itu pun terkejutkan dengan reman Yuda yang terhenti tepat di depan
rumah ku. “Raya, udah sampai nih, kamu hati-hati ya!” Fika mengagetkan ku
dengan nada suara khas milik nya. “oh ok, terima kasih ya Fik, Yud! Sudah mau
repot-repot mengantarkan ku pulang kerumah”. “oh tak mengapa, kami sanggat
senang bisa berbagi tumpangan dengan mu” sahut Yuda dengan nada yang rendah.
Ku
ambil sebuah bantal panjang milik ku, lengkap dengan sarung batik berwarna hijau
pupus dan sebuah bantal biasa dan tentunya dengan sebuah selimut khas milik ku
berwarna orange garis-garis. Ku rebahkan tubuh ku di antara kasur ku yang
bersepraikan hijau pupus itu. Ku nikhmati kenyamanan di malam itu. Ku coba
mengrefreshkan kembali, pikiran-pikiran
gundah ku, yang sudah terlatih mengganggu ku sejak bertemu dengan
seorang lelaki bernama Yuda, pacar Fika sahabat ku.
Ku
bayang-bayangkan kembali, wajah milik nya. Ku ingat-ingat kembali tentang
karakteristik yang di miliki oleh Yuda ku. Dan aku mencoba, untuk menjadi
seorang Yuda yang mana bertaut di otak ku, apakah ia merasakan getaran yang
sama seperti ku, ketika dia mendengar nama ku? Ah, sudahlah… aku tak bisa menebak
dengan pasti. Yuda yang ku temui kali ini, sosok lelaki yang hangat dan
misterius, hingga aku sulit untuk menebak apa dan bagaimana dia. Namun seketika
waktu berdentang menemani ricuhnya malam ku, sisi hati ku berkata : “ lalu apa
yang akan aku lakukan, bilalahmana dia adalah Yuda yang selama ini aku tunggu,
Yuda yang tak aku tau lagi bagaimana rupanya? Apakah aku akan tetap
mengejarnya? Walaupun itu melukai hati Fika, sahabat terbaik sepanjang masa yang
ku miliki di hidup ku? Apakah aku tega? Apakah aku rela? Apakah aku mampu? Oh,
persahabatan atau cinta yang akan menjadi pilihan hati?
Pertanyaan-pertanyaan
yang sedikit tidak jelas kemana arah berlalunya, terlupakan sejenak. Aku yang
lelah dengan masalah ini dan itu lebih memilih pergi untuk sesaat dari
kegelisahan itu kemudian pergi menyusul mimpi yang hendak ku telusuri.
Pagi,
ya pagi kian datang dan menetap untuk sesaat menemani hari ku yang beruang
sempit. Aku yang merasa malas untuk memulai aktivitas ku yang ini begini dan
begitu saja yang harus bersiap dan menyiapkan diri untuk pergi dan pulang
ngampus yang mana semua itu terjadi untuk hampir setiap harinya kecuali minggu
dan benar adanya aku mulai bosan. Namun ku tetap saja, terus dan terus
mengikuti pola hidup yang ku tunjukan bukan cara aku untuk hidup. Pagi itu, ku
melangkah turun ke lantai melewati anak tangga yang berdiri dan berbaris rapih
di pinggiran dinding sepanjang mata memandang. Ibu, seorang ibu terbaik didunia
milik ku, telah bersenang hati menanti ku untuk sarapan di pagi itu. Terkadang
aku berpikir, ibu terbaik di dunia ku sudah semankin tua dari hari ke hari.
Bila waktu telah letih menemaninya, bila udara telah enggan bernaung di singgah
sana pernafasannya, bilalah mana tuhan telah merindukan kehadirannya. Maka aku
benar-benar sendiri berada di dunia ini. Dan disaat itu lah, aku benar-benar
kehilangan semangat untuk tetap bertahan di dunia yang serba membinggungkan
ini.
Aku
Raya, 20 tahun. Ku mengambil jurusan sejarah di kampus tercinta ku yang di
penuhi dengan tumbuhan hijau menjulang tinggi dan besar, hingga rimbunnya mampu
menentramkan jiwa. Dan hari ini adalah hari dimana Fika si sahabat terbaik ku,
sahabat yang selalu ada di saat aku butuhkan, sahabat yang selalu setia
menemani kegelisahan dan sahabat yang selalu mendukung ku untuk mencari pacar,
ia berulang tahun ke 21 yang mana akan di meriahkannya malam ini.
Jam
perkuliahan ku telah habis kini dan aku memutuskan untuk pergi ke mall sebentar
dan membelikan Fika sebuah tas berwarna coklat muda untuk hadiah ulang
tahunnya. Proses memilah-milah barang yang bagus dan lebih bagus terjadi sangat
alot. Hingga aku sangat sulit untuk menentukan mana yang lebih baik untuk ku
berikan kepada Fika. Tidak lama kemudian aku di kejutkan dengan sebuah jawaban
yang menunju ke arah genggaman tangan di sebelah kiri ku, “yang ini lebih bagus
deh!” sahut suara seorang pria. Aku terkejut bukan mainnya dikala itu. ku lirik
baik-baik wajah si pemilik suara itu, ku nampaki Yuda yang sedang berdiri
dihadapan ku dengan seorang temannya. Lamunanku terhenti sesaat, “hei, kamu
Yuda pacar Fika kan?” aku meyakinkan diriku. “iya ini aku” lembut jawabannya
sambarih tersenyum manis. Dan akhirnya aku memilih pilihan yang Yuda pilihkan
untuk Fika.
Yuda
dikala itu, kulihat sosoknya sangatlah mendebarkan hati. Sampai aku ingin mati
melihat wajah-wajah yang selama ini ku nanti. Dan perasaan ku saat itu
semangkin menggebu untuk menanyakan apakah dia adalah Prayuda Mistrianto,
lelaki yang selama ini menjadi alasan ku menutup hati untuk mahkluk adam yang
lainnya. Namun tetap saja, keberanian ku belumlah terkumpul semuanya.
Yuda
memperkenalkan temannya kepada ku yang bernama Fadil. Fadil adalah sosok lelaki
yang bersih, tinggi, mancung, manis, tidak berambut ikal, dan sangat sopan.
Persis dengan karakteristik lelaki yang aku impikan yang mana semua itu juga di
miliki Yuda. Namun ntah mengapa aku tak punya sedikitpun perasaan kepada Fadil.
Lalu aku bertanya kepada Yuda, alasan apa yang membawanya ke mall siang itu.
Dan dia pun menjawab singkat, “iya, ini aku juga ingin membeli hadiah untuk
Fika namun belum ketemu juga. Dan Fadil ini adalah sepupu ku yang untuk beberapa
minggu ini tinggal di rumah ku. Oiya, Fadil ini udah jadi Sarjana Ekonomi loh, dan dia masih saja jumbo”.
Jelasnya panjang lebar kepada ku. Dan aku hanya tersenyum saja. Dan kemudian
kami pun terpisah di siang itu.
Senja
telah menyapa ku di balik jendela kaca di kamar tidur ku. Aku yang masih saja
memikirkan pertemuan tak terduka tadi siang itu. Menghanyutkan ku dalam buaian
wajah Fadil. Lalu aku pun tersadar, Fadil? Mengapa dia? Ah sudahlah, sore itu
lebih ku putuskan untuk bersiap ke pesta Fika.
“Tok-tok-tok”
terdengar suara tangan ibu ku mengetuk-ngetuk pintu kamar ku. Aku pun membuka
pintu itu dengan raut yang berseri. “ada apa bu?” kemudian ibu ku membawakan
aku sebuah gaun berwarna merah muda lembut miliknya dahulu. Dia meminta ku
untuk memakainya ke pesta Fika. Dan aku menolaknya lembut, bukan karena aku tak
menghargai kebaikan hati ibu ku, bukan karena aku tak ingin membuat ibu ku
bahagia, bukan karena gaun itu buruk! Gaun itu masih terlihat bagus tanpa debu
dan kerusakan sedikit pun. Namun masalahnya sekarang adalah, aku tak menyukai
warna merah muda dan parahnya lagi aku tidak suka memakai gaun, aku lebih suka
dan memilih pergi kepesta dengan jins panjang ku berwarna biru terang dan kaus
putih milik ku. Tapi lagi dan lagi aku tak bisa menolak permintaan ibu ku dan
terlebih ia menujukan wajah kecewanya kepada ku. Dan tak kuasa, ku pakai gaun
itu. Kemudian ibu ku mendandani ku dengan sentuhan-sentuhan wanita dan memakai
sepatu bertumit tinggi, rambut terurai panjang dan bedak serta pewarna wajah
yang tak ku tau namanya itu yang melekat erat di wajah ku.
Ketika
itu ku tatap baik-baik wajah ku didepan cermin. Ku melihat sosok seperti gaya Fika
disana. Namun itu aku, tapi bukan seperti aku. Oh sungguh, ini seperti
mensabotase identitas diri ku. Tapi tak mengapalah, ini akan menjadi terakhir
kalinya hanya untuk membuat hati ibu ku senang. Setelah itu tak akan pernah mau
ku pakai ini dan itu lagi. Aku pun pergi meninggalkan ibu ku dengan membawakan
sebuah hadiah untuk Fika dan dengan cara jalan yang masih ingin ku sesuaikan.
Sungguh, sepatu ini tak mampu membuat jalan ku jauh lebih baik. Tubuh ku bermiring
kanan dan kiri karenanya, bak seorang lelaki yang terkena serangan akhol
semalam.
Sesampainya
di pesta meriah milik Fika itu, aku di sambut hangat olehnya. Aku dipeluk
bahagianya dan aku membalas pelukan bahagia itu. Tak lupa, ku tuturkan
kata-kata manis, kata-kata keselamatan, kesehatan, masa depan yang cerah, dan
sebuah persahabatan yang tak mengenal akhir di antara kami. Wajah Fika sangat
berseri-seri hingga menularkan kebahagian miliknya kepada teman yang lainnya
disana. Dia memuji gaya feminine ku malam itu, dan dia sangat senang karena aku
sudah sadar akan kodrat ku sebagai seorang wanita. Namun sisi hati ku berkata :
“bukannya dari dulu aku lurus-lurus aja ya?”.
Pertanyaan
di benak ku yang berlangsung sekejap itu, seketika terbuyarkan dengan suara
Yuda yang menghampiri Fika dan mencium kening Fika di depan mata ku. Ntah
mengapa, hati ku berubah jadi panas dan mata ini, mata ini terasa hendak
menjatuhkan segerombolan cairan lainnya untuk menitih sebagai symbol larahnya
hati. Tak kuasa aku lebih memilih untuk menjauh dari Fika, dari Yuda, dari
keramaian. Ku bawa lara itu ke sisi taman milik Fika yang sedikit sunyi.
Tiba-tiba
ku di kagetkan dengan tepukan tangan yang jatuh di pundak ku, ya! Fadil di
sana. Aku sungguh malu kepada Fadil, karena pada posisi ku bertatap muka
dengannya air mata ini tak bisa lagi ku pendam terlalu lama hingga akhirnya
jatuh menitih dan menemani kebisuan sesaat di antara kami. Dia menanyakan
kepada ku, tentang mengapa aku menangis, tentang mengapa aku berada disana
seorang diri, tentang mengapa ku tak bergabung dengan yang lainnya, tentang
dengan siapa aku pergi ke pesta itu dan pertanyaan bodoh terakhir yang ia
ucapkan adalah apakah aku Raya? Oh tuhan, bagaimana mungkin dia bertanya
sebanyak itu, bilalah hati nya tak teguh untuk ingat pernah berkenalan dengan
seseorang sebelumnya atau tidak. Aku yang setadinya sedih, penuh gerutu dalam
hati kini tak sanggup lagi untuk menahan tawa yang seakan hilang kendali ku
tuangkan tanpa segan dihadapan Fadil. Ternyata di balik ke misteriusan yang
sesekali di tunjukannya, ia punya sesuatu hal yang tak pernah ku duga
sebelumnya.
Kemudian
tatapannya berubah setelah mengamati ku lebih dalam lagi. Katanya ia tak
menyangka, jika aku adalah Raya yang tadi siang di jumpainya. Karena menurutnya
penampilan ku yang sekarang jauh berbeda dengan gaya ku tadi siang yang sedikit
masculine. Percaya!, sebegian kata yang terlontar dari mulutnya tak membuat ku
kesal atau risih namun sebaliknya. Rasa tawa yang mengguyur ku basah seakan tak
ingin berhenti. Ya! Selain perbincangan tentang gaya ku berpakaian, kami pun
banyak mengobrol tentang ini dan itu, mengalor ngidul (kata orang jawa) yang ntah
kemana-mana arahnya. Tentunya aku tak ingin melewati kesempatan emas itu. Aku
membongkar-bongkar tentang apa dan siapa Yuda sebenarnya. Namun sayang misi ku
kali itu taklah berhasil, karena Fadil nampaknya bukanlah seorang lelaki yang
mudah untuk di korek-korek informasi dirinya ataupun orang-orang yang ada di
sekitarnya dan ia hanya ingin bercerita banyak tentang sesuatu hal yang kurang
penting yang hanya bertujuan memudarkan stress yang mampu membuat kerut di
dahi-dahi menua.
Namun
hati ini tak pernah gentar untuk mencari tau siapa Yuda sebenarnya. Ku telusuri
arahan hati yang mampu mengumpulkan tekat ku dan membulatkan keyakinan ku. Bilalah
mana Yuda adalah Yuda yang ku cari. Ku pinta dua belas angka milik Fadil yang
mana angka-angka itu mampu mendekat kan hubungan komunikasi ku dengan Fadil semangkin
dan semangkin dekat, di akhir-akhir cerita malam penuh rasa itu. Sungguh ku
berjanji dalam hati, 1001 cara akan ku tempuh untuk suatu penantian panjang ku
yang penuh dengan kegelisahan yang sungguh tak ingin ku sia-sia kan begitu
saja, terbuang percuma. Ku atur strategi yang handal dan penuh dengan
ketelitihan hati.
Ku
ubah diriku. Ya!!!! Bukan seorang Raya si cewe cuek lagi yang terlihat
sekarang. Raya ku sayang telah tertidur pulas di pembaringan yang lembut
sehalus kapas. Kini yang ada, adalah Raya si cewe feminine yang penuh dengan
perhatian. Yang mana perhatian yang bukan dari lubuk hati ku itu, ku tunjukan
keras hanya untuk Fadil. Untuk membujuk hatinya lebih terbuka kepadaku. Oh
ntahlah mengapa aku seolah-olah ingin merusak jati diri ku sendiri, tapi sekali
lagi, aku tak ingin menjadi terlalu sakit dengan ketidak pastian ini yang ku
tanggung sudah dari 9 tahun yang lalu. Sungguh, ingin ku bertanya langsung
kepadanya, ataupun kepada Fika untuk ku bercerita. Namun bagaimana bisa ku sanggup.
Aku hanya tidak ingin merusak persahabatan di antara kami, bilalah mana hal itu
benar adanya. Disamping itu aku tak pernah bercerita sedikit pun tentang nya,
jadi bagaimana bisa ku menanyakan hal itu secara mendadak.
Kini
senja di hari sabtu ku, kunjung datang lagi dan lagi tanpa bosannya. Ya! Aku
pun tak pernah bosan untuk menantinya, menanti suatu kebebasan dari fikiran
tugas-tugas kampus yang menumpuk semangkin hari yang tak sanggup lagi untuk ku
lirik walaupun sepintas.
Ku
lirik handphone ku dan ntah mengapa tangan ini bergerak untuk mengcalling
Fadil. Ya! Mungkin alasan hati untuk menjalankan suatu misi yang terbengkalai
sejenak. Baiklah! Aku lakukan segera, ku tuntaskan segera!. Ku akan bertemuan
dengan Fadil di sebuah café yang tidak jauh dari rumah ku. Tak ingin ku lewatkan
kesempatan itu, ku berdandan sebaik mungkin untuk Fadil bisa terpikat kepada ku
hingga menjadi dekat dengan ku, merasa nyaman dan mau menuangkan seluruh
infomasi yang aku butuhkan.
Aku
pun bergerak dari tempat ku bercermin menuju café itu. Ku lihat sosok Fadil
yang memakai kaus oblong berwarna putih, celana ponggol dan sendal jepit. Oh
Tuhan sungguh malu aku disana, seperti seekor kecoak yang mati mendadak
terpukul dengan garukan badan. Dengan melihat diri ku memakai gaun yang
mencerminkan kewanitaan sekali Fadil tertawa tak merasa segan-segan sedikit pun
di hadapan ku. Sungguh aku kehilangan wajah, yang ku pikir malam itu akan
menjadi malam yang sangat romantis dan di penuhi kata-kata cinta pertama ku,
ternyata aku salah, aku keliru.
Dalam
lencana misi selanjutnya aku tak ingin lebih mempermalukan diri ku. Aku lebih
memilih untuk diam. Karena bagi ku diam menjadi alternative yang sangat tepat
untuk ku malam itu dari pada aku berbicara yang tidak-tidak yang bisa lebih
menghancurkan repotasi ku sebagai Raya si cewe manis. Ya! Seperti yang ku duga.
Fadil pun tak mau memulai percakapan dimalam itu, sebuah basa basi ketika minum
dan makan malam. Yang ada dia hanya sesekali melirik kearah ku dan tertawa
kecil.
09:02
ku lihat waktu itu di sebuah jam yang melingkar sedikit erat di tangan sebelah
kiri ku. Dan sampai terakhir kalinya ku tatapi angka-angka itu masih saja tak
sedikit pun suara yang keluar dari mulut Fadil. Baiklah aku akan memulai sebuah
pertanyaan yang ku tujukan kepadanya. “apa kamu suka makanan disini?” dengan
terbata-bata kata-kata itu mengalir dengan sedikit sukses. “suka” jawaban yang
begitu singkat yang sedikit membuat hati ku memanas tak menentu. “ehm, yaudah
deh. Makasi ya! Udah mau nemeni aku dinner, oh iya maaf ya! Aku mau balik
duluan, soalnya ibu aku sendirian dirumah, kasian kalo aku tinggal lama-lama”.
Jelas ku kepadanya dengan senyuman ringan. “ok” katanya sesinggakt itu. Astaga,
wajah ku berubah memerah. Suatu jawaban yang sebenarnya tak pernah aku inginkan
keluar dari mulutnya. Sedikit jawaban basa-basi lebih berarti di hati ku saat
itu mungkin. Dan entah mengapa, aku serasa ingin mencampakan muka ini hingga
terbanting di tanah lalu ku injak-injak dan memusnahkannya singkat. Hingga tak
ada satu orang pun lagi yang mampu menemukan keberadaannya.
Aku
pun berjalan menuju jalanan dan mencari taxi. Tiba-tiba dia datang dan
mengampiri ku, lalu menggenggam erat pergelangan tangan ku sebelah kanan. Aku
menatap matanya terkejut, matanya berbinar ria, seakan suatu hal hendak di kata
kannya. Dia pun berkata : “kamu mau gak, kalo aku yang anteri kamu pulang?” aku
terdiam terpaku. Tak bisa bergerak, apa lagi berkata. Dan seakan ia tak ingin
menghabiskan waktu lebih lama. Di ambilnya sebuah sikap dan menuntun arah kaki
ku kedalam mobil miliknya. Dan dia mulai lagi, menjadi seperti Fadil yang ku
temui dalam pesta Fika, dengan segerombolan cerita humornya. Dan kami seakan
dua anak manusia yang mempunyai jiwa yang sama dalam dunia berbicara humor.
Ban
mobil miliknya pun terhenti, tepat di gerbang rumah ku. Lalu ia berkata dengan
dewasanya : “nanti aku telpon ya!”. “baiklah, kamu hati-hati ya!” hah, Tuhan,,,
malam itu terjadi begitu saja tanpa di duga-duga. Selayaknya aku sungguh
mengharapkan dia menjadi bagian di hidup ku, tapi ntah mengapa aku berfikir
jika diri ku sedikit kejam kepadanya. Harapan palsu dan perhatian palsu yang
terjadi antara aku dan Fadil.
Setengah
jam ku tatapi handphone ku untuk berbunyi merdu. Tapi nada itu tak kunjung tiba
jua. Lelah ku menunggu menghantarkan ku dalam lelapnya lelah, ku rebahkan tubuh
di sembaringan kapas mulus, putih, dan lembut itu. Hingga larutnya malam membuaikan
ku dalam mimpi semanis madu.
Pagi
itu ku tersadar diantara awal pagi yang memanggil-manggil ku untuk turut
berjaga dan memulai aktivitas. Namun ingatan hari libur dan malasnya tubuh
beranjak membuat ku terlelap kembali dan melanjutkan sebuah mimpi yang belum
usai ceritanya. Aku terbangun nyata di antara matahari yang sudah menapaki di
antara tengah-tengah atas kepala ini. Ku cari keberadaan handphone ku, yang
tiba-tiba aku teringat kepada Fadil. Sekejap ku buka handphone, ku mendapatkan
3 panggilan tak terjawab dan 2 pesan yang belum sempat ku baca dari Fadil. Yang
mana ia hendak datang kerumah ku dipukul 2 siang ini. Ya 2 siang ku itu bersisa
28 menit lagi. Aku bersegera mandi dan bersiap, karena aku tak ingin Fadil
melihat wajah kusam ku.
Ya!
ia pun datang dengan santunnya. Ia pamit kan aku dengan ibu dan membawa ku ke
suatu tempat. Di sebuah gedung tua yang tak berbentuk dengan lengkapnya lagi.
Gedung tua yang tinggal fondasi menjulang keatas. Ku melihatnya indah. Ia ada
di antara danau kecil menhijau. Kami pun
datang dan menghampirinya. Melewati anak tangga yang berbaris rapi dihadapan.
Aku
memandang ke bawah, ku tatap kesekitar hamparan memandang. Penuh dengan air
yang tergenag riang dalam kubangan alam. Penuh dengan ilalang yang manja,
bergelayut rimbun penuh kebimbangan. Aku bertanya suatu hal padanya, alasan apa
yang mendorongnya membawa ku kesana. Lalu ia pun menjelaskan secara terperinci,
seakan tak mengenal titik apalagi space.
Dahulu
ia mempunyai mantan kekasih bernama Naya. Ya! sebuah nama yang hampir mirip
dengan nama ku. Ia sangat mencintai Naya melebihi dirinya sendiri. Usia dari
hubungan asmara mereka terjalin 6 tahun lamanya, untuk menemui sang nenek yang
sudah sekarat. Namun sayang, Naya tewas dalam perjalanannya ke bogor dengan
kereta api tiga tahun yang lalu. Dan itu menjadi pukulan dahsyat untuk Fadil
menjalin kasih. Dan Naya, Naya Anggraini adalah gadis cantik, putih, baik,
serta sangat anggun dalam tutur geraknya yang sangat jauh berbeda dengan aku.
Yang dahulu hampir setiap senja, mereka hadir dan mengunjungi tempat itu
berdua. Menyaksikan matahari tenggelam dan bersembunyi di bilik-bilik gedung
yang menjulang tinggi lainnya.Oh sungguh, aku terbayang akan sebuah misi ku yang
menjadi alasan mengapa aku dekat dengan Fadil. Dan rasa bersalah ku menggebu
seketika semangkin dalam dan tajam.
Kami
pun duduk berdua, di pinggiran gedung tingkat teratas itu. Menikmati
pemandangan indah dikala senja menyentuh kami dengan caranya. Seiring penantian
itu, penantian di saat-saat awan memerah muda, melambai-lambaikan tangannya untuk
pergi sekejap. Kami berbincang-bincang akrab dengan canda dan tawa khas cara
kami mengabadikannya menjadi sebuah kenangan. Ntah mengapa, dipertengahan perbincangan
itu. Terselip sebuah tatapan yang menjurus tajam kedalam bola mata ku. Tanpa
perlawanan ku ikuti suasana yang mampu menghipnotis romansa kala itu. Dimana
mata terpejam, berusaha menikmati segala hal yang terjadi dengan setengah
sadar. Ketika itu, ketika matahari menempati posisinya untuk mulai bergerak dan
menghilang, ketika itu segerombolan burung-burung berlalu lalang terbang
diangkasa dan ketika itu pula kedua tangan ku tergengngam erat dan teremas
mesrah dalam genggaman tangan Fadil, bersamaan hal itu kedua bibir kami
bersentuhan seakan menyatu sekejap. Dan itu adalah ciuman pertama ku. Pergerakan
itu dilakukan berulang kalinya oleh Fadil dan kemudian aku mengikutinya dengan
nafsu yang memburu. Namun tiba-tiba wajah Yuda terlintas diingatan ku dan
secara tak tersadarkan diri, nama Yuda keluar dari mulut ku. Fadil terdiam
sesaat. Seakan-akan kata-kata yang terlontar lewat bibir ku kurang pasih ditelingganya
dan terdengar samar-samar. Lalu ia bertanya “apa? Siapa yang kamu panggil
tadi?, Yuda?”. Dan aku pun menjawabnya “bukan siapa-siapa ko”. Lalu Fadil
berkata “oh yauda kalo gitu, makasih ya!”
Malam
pun mulai menjajakkan kakinya ke permukaan bumi tercinta. Dan aku meminta Fadil
untuk mengantarkan ku pulang ke rumah. Sesampai dirumah, aku membayangkan hal
bodoh yang aku lakukan tadi sore dengan Fadil. Sebuah ciuman pertama yang aku
rawat dan ku jaga hanya untuk Yuda, tapi mengapa Fadil yang mengambilnya.
Ciuman tanpa permisi dan tanpa ikatan itu terjadi begitu saja. Oh TIDAK, aku
serasa ingin menjerit dan menangis.
Tiba-tiba
telepon genggam ku alias handphone ku berbunyi. Fadil menelphon ku di malam
itu. Oh tidak, aku sedang tak ingin bercengkramah dengannya. Dan fikir ku,
lebih baik tidak mengangkat telpon darinya.
Sungguh
ingin sekali ku bercerita ini semua dengan Fika atau ibu ku. Namun aku tidak
punya keberanian untuk curhat tentang cinta ataupun ciuman yang belum pernah ku
bahas seumur hidup ku sebelumnya. Aku harus menyudahi sandiwara ini dan harus
menuntaskan misi ku segera. Setelah itu tak akan ku dekati Fadil lagi, agar
sakit hatinya tak terlalu dalam nantinya.
Tiga
hari sesudah hari itu, aku berjumpa kembali dengan Fadil di atas gedung itu. Ia
bertanya hal yang sederhana, mengapa aku seakan menghilang dari hidupnya. Dan
aku lagi-lagi tak menjawab pertanyaanya dan mencari jalan untuk mengalihkan
pembicaraan. Lalu, dengan berhati-hati aku menanyakan siapa sebenarnya Yuda
itu. Ia menatap ku dengan tatapan yang berbeda. Seakan heran dengan pertanyaan
ku yang mengurusi pacar sahabat ku sendiri. Dan kali ini, ia yang membisu. Tak
sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Lalu aku membujuknya halus untuk
memberikan jawaban kepada ku.
“Aku
akan menjawab pertanyaan kamu, tapi kamu harus menjawab terlebih dahulu 2
pertanyaan ku” katanya jelas. “Baiklah, apa itu Fad?” jawab ku. “Pertama!,
mengapa kamu menghilang beberapa hari ini? Dan kedua, Mengapa kamu bertanya
tentang Yuda?”. Aku pun menjelaskan alasan ku : “Ok, aku akan menjawabnya! Aku
tidak menghilang begitu saja, aku hanya sedang sibuk dengan kuliah ku yang mana
tugas ku menumpuk tak karuan dikamar, jadi maafin aku kalau aku terlihat acuh.
Dan Fad, aku pingin jujur ke kamu. Soalnya, aku gak mau ada hati yang terluka
diantara kita nantinya. Alasan aku dekat sama kamu, cuman untuk mencari informasi
tentang Yuda. Karena aku yakin Yuda Mistrianto itu adalah teman dikala aku
duduk dibangku sekolah dasar yang sudah 9 tahun kini ku tak pernah berjumpa
dengannya dan selama 9 tahun pula aku menutup hati ku untuk lelaki lainnya,
karena aku yakin! Soulmate ku adalah Yuda. Tapi kamu tau? Yuda adalah pacar
dari sahabat ku sendiri. Yang tak mungkin dan haram bagi ku untuk mengusik
mereka. Namun bagaimana dengan hati ku.! Sedemikiannya aku yakin Yuda adalah
Yuda yang aku cari, tapi aku tetap saja ingin keajaiban datang pada ku dan
merubah itu semua. Maka dari itu aku mendekati mu untuk mencari kebenaran itu
dan meneguhkan hati ku bilapun jawaban mu pahit. Maka dari itu, maafin aku ya
Fad, sungguh aku tak bermaksud mempermainkan perasaan mu!.”
Dengan
penjelasan itu, air mata ku pun tak kuasa dan akhirnya jatuh menitih. “Dan
sekarang aku mohon beri tau aku siapa Yuda itu”. pinta ku memelas. Kemudian
Fadil menjelaskan kepada ku siapa Yuda sebenarnya. Ya! ternyata Yuda adalah
orang yang selama ini ku cari. Dan kebenaran pahit lainnya adalah ternyata Yuda
pun sudah mengtahui jika aku adalah Raya teman yang duduk disekolah dasar. Kata
Yuda, aku adalah sebuah masalalu. Dan janji diwaktu kecil yang kami buat itu
seakan omongan yang gak penting dan berlalu bagi Yuda. Tentu aku tak sepercaya
itu, lalu aku pergi meninggalkan Fadil sendirian disana dan pergi ke rumah Yuda
untuk mengkonfirmasi kebnarannya dengan langkah penuh gelisah dan amarah.
Sayang,
sungguh malang nasib ini tak kunjung berbuah bahagia. Ternyata perkataan Fadil
bisa ku genggam dan buktikan, setelah keterangan itu mengalun mulus di antara
mulut Yuda.
Aku
sungguh terpukul akan hal itu. 9 tahun tiada henti menunggu, namun harus rela
terbakar hangus semuanya untuk sebuah jawaban murni.
Ku
kuatkan tubuh ku bertahan ditengah badai nestapa. Di antara persahabatan,
penantian, kesetiaan, hingga ciuman pertama. Ku putuskan untuk pergi menginap
di rumah nenek bersama ibu ku untuk bebebrapa minggu. Dan selama beberapa
minggu itu, aku tak pernah membalas pesan dari Yuda, Fika maupun Fadil.
Semuanya ku relakan untuk berlalu.
Diantara
sikap acuh ku ke mereka, terselip wajah Fadil di sana. Sungguh kali itu ku
merasa rindu yang sangat berat ke Fadil. “Atau jangan-jangan aku jatuh cinta
kepada Fadil?”. Oh hentahlah. Kaki ku seakan menuntun ku kearah yang seharusnya
ku tuju. Ke bangunan tua itu di kala senja sudah mulai bersiap siaga. Ku temui
sosok Fadil disana dengan posisi berdiri dan membelakangi ku. Kemudian, ku
panggil namnaya semangat!. Ia menolehkan tubuhnya dan merebahkan kedua
tangannya, seolah sebuah pelukan menanti ku. Akupun berlari dan melengkapi
pelukan itu.
Dan
Aku memulai kata-kata ku dengan kata maaf, kemudian kami duduk kembali di
antara pinggiran gedung itu unuk menyaksikan matahari tenggelam. Ya! senja itu
telah meninggalkan kami begitu saja. Dan malam kian larut menghampiri. Dingin
karena semilir angin tubuh ku terangsang kehangatan. Dan Fadil mencoba
menghangatkan ku dengan jacket yang ia pakai untuk menutupi tubuh ku. Gelap
dimalam itu hanya bertemankan sebatang lilin dan sinar rembulan. Miris keadaan
dikala itu bersama nyamuk-nyamuk yang menemani tak membuat kami ingin beranjak
dari tempat itu. Aku wanita yang merindu akan cinta dari seorang lelaki yang
belum pernah ku merasakan sekali pun, berharap Fadil akan menyatakan cinta
kepada ku. Namun ntah mengapa, kata-kata itu tak muncul-muncul jua. Angin
memburuh pori-pori semangkin dalam yang membawa kami dalam kelenaan suasana.
Dan lagi-lagi ia melakukan itu pada ku. Ciuman kedua, ketiga dan keempat ku
terjadi lagi dengannya. Ya! ciuman tanpa ikatan yang berlangsung penuh debar
itu.
2
tahun berlalu, kejadian antara cinta monyet ku serta sikap Yuda kepada ku sudah
lama ku maaf kan dan ku lupakan. Dan minggu depan adalah pernikahan sahabat ku,
Fika dengan Yuda. Dan aku sedang berjalan-jalan dengan Fika untuk hunting
bunga-bungaan yang akan menjadi pemnais di pernikahan Fika. Sembarih
memilah-mila bunga-bunga indah itu, aku melihat Fadil berjalan bersama seorang
gadis yang sanagt cantik. Tak kuasa ku meninggalkan Fika seorang diri dan
mengejar kearah Fadil berlalu. Ku memanggil nama Fadil. Fadil dan gadis itu pun
berrhenti. Fadil terlihat gugup. Tapi, ah hentahlah. Lalu aku menarik lengan
Fadil dan membawanya pada jarak yang cukup jauh dari gadis itu. Kemudian bertanya
pada Fadil tentang siapa gadis yang berdiri disampingnya. Aku yang seakan
berapi-api, namun Fadil berkata santai. “Dia teman aku!”. “teman? Fad, kamu
hargai dong perasaan aku! Aku sakit, kalau kamu jalan sama cewe lainya!” jawab
ku. “kenapa kok kamu marah-marah? Kamu cemburu?” katanya polos. “bukannya kita
tidak punya hubungan apa-apa ya?” sambungnya. Aku yang merasa ingin
meledak-ledak berusaha menjelaskan santai lalu aku berkata “sudah 2 tahun kita
kenal, 2 tahun pula kita sering jalan bareng, kamu beri perhatian lebih ke aku
begitu juga dengan aku, hingga terjadi ciuman-ciuman manis itu dan kamu tidak
menganggap hubungan itu?”. Lalu ia mengutarakan isi hatinya dengan amarah yang
meledak-ledak : “Bukankah kamu mencintai Yuda dan bukan aku?, bukankah Yuda
adalah soulmate mu yang tak munkin untuk mu menggantikan posisinya? Dan
bukankah aku hanya sebagai pelarian mu saja? Lalu dimana letak kesalahan ku
untuk menyayangi hati yang lain?”. Lalu aku meninggalkannya bersama gadis
cantik itu dengan wajah yang kusam dan cemberut serta mata yang berkaca-kaca.
Dan
aku pun menangis pulang ke rumah meninggalkan Fika seorang diri dengan kata
maaf. Hari itu aku tak ingin keluar kamar dan juga tak berselera untuk makan.
Hingga ibu ku bertanya apa yang terjadi padaku, namun aku lebih memilih diam
dan belum mau untuk menjelaskan kepada ibu ku. Dan disaat itulah aku tersadar,
bahwa cinta yang tersembunyi ini telah bersemayam lama dihati ku. Dan
meninggalkan pemikiran tentang Yuda dengan mudahnya, khalayak cinta yang ku
puja sekian lamanya kini hancur lebur tak berbekas.
Tiba-tiba
Fadil datang malam itu bersama gadis yang tadi siang jalan bersamanya. Ku
luluhkan hati ku, ku buka kamar ku. Ku usap air mata ku dan berusaha menjadi
dewasa dan mulai merangkai kata-kata. Sebelumnya untuk ku memulai, Fadil sudah
memulai start ku, ia menjelaskan bahwa gadis itu bernama Heli yang tidak lain
adalah kakak kandungnya yang baru saja menyelesaikan S1 nya di Singapura. Dan
sungguh aku terkejut lalu bersimpuh malu.
Dan
untuk keesokan hari nya ia meminta ku untuk datang ke gedung itu. Dan disanalah
ia bercerita banyak tentang alasan yang sudah lama aku menunggunya. Ia tak
pernah mengatakan cinta kepada ku karena menurutnya hati ku masih terpaut
dengan Yuda, ia tak ingin mencoba mengikat ku dengan sebuah hubungan karena ia
takut bahwa hatinya bertepuk sebelah tangan dan karena baginya tingah laku itu
lebih penting dari pada ucapan-ucapan berkhias cinta.
Namun
semenjak saat itu, sungguh benar aku telah melupakan Yuda. Kini Fika dan Yuda
telah resmi menjadi suami – istri, dan halal dari segala tatapan bermakna luas.
Aku dan Fadil pun telah menjadi sepasang merpati yang terbang dan pergi menyelam
diudara sesuka hati, kemudian kembali lagi pada domisi kehangatan hubungan yang
tak pernah mati.